MENGAPA HARUS CHAIRIL ANWAR?

: Emong Soewandi

dipersiapkan untuk seminar dalam rangka Peringatan Hari Chairil Anwar

oleh Hima Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP-UNIB

Ketika diminta panitia untuk berbicara tentang Chairil Anwar (CA), sebenarnya saya sangat bimbang untuk mengambil keputusan. Bukan apa, jujur, saya tidak begitu banyak membaca tentang CA dan karya-karyanya. Hanya beberapa buah puisi-puisinya yang saya tahu. Saya lebih banyak tahu lagu Ebiet G. Ade atau Iwan Fals. Bahkan belakangan ini saya sedang gandrung dengan lagu-lagunya Irwansyah dan Acha.

Saya juga sering lupa, kalau bulan April adalah bulannya CA.

Kesan remang-remang ini semakin menjadi kabur lagi, karena saya tidak nge-fans dengan CA. Secara pribadi, saya lebih menyukai puisi-puisinya Goenawan Mohamad dan Frank Kafka, bahkan untuk seangkatan dengan CA saya lebih suka dengan puisi-puisinya Amir Hamzah. Sama mungkin dengan saya juga kita semua semakin jauh tidak mengenal sosok Soe Hok Gie, seorang mahasiswa pemberontak, kalau tidak diingatkan dengan diangkat cerita kehidupannya ke layar lebar pada film “Gie” yang diperankan Nicholas Saputra. Atau juga sosok Wahid Ahmad, yang buku “catatan harian”-nya sempat jadi buku-teks bagi mahasiswa aktivitis, tidak lagi banyak dikenal oleh mahasiswa bahkan mungkin di kalangan HMI.

Nah, ini kawan-kawan menyodorkan permintaan kepada saya untuk berbicara tentang CA. Aduh, saya sempat bingung, karena bukankah kita sekarang hidup dalam referensi orang-orang sejenis Tukul, Bolot atau yang lebih hebat sedikit Jojon. Tentu permintaan itu bagi saya adalah permintaan yang berat, karena itu adalah permintaan lintas zaman.

Perhatikanlah, antara CA yang sama sekali tidak bermakam di Taman Pahlawan dengan masanya si Tukul cs, masih hadir orang-orang yang bernama Rendra, Sutarji, Cak Nun atau Jamal D. Rahman yang referensinya pun samar-samar. Nah, ini harus mundur hampir seabad, untuk bertemu kembali dengan sesosok “binatang jalan” yang bernama CA. Sedangkan binatang jalang, baik di kalangan seniman, agamawan, politikus atau orang awam, yang berlumur lumpur dan uang, pada hari ini saja kita semua repot mengingat dan memikirnya.

Jadi, apakah memang betul-betul masih terkini (aktual) kalau kita berbicara tentang CA. Apa yang harus dibicarakan lagi tentang CA. H.B. Jassin telah membuat ratusan tulisan tentang CA, Arief Budiman juga setelah menulis skripsinya tentang CA, telah banyak mengupas tentang CA secara ekspresif, belum lagi Subagio Sastrowardoyo, juga Ajib Rosidi sudah banyak berbicara tentang CA. Sudah banyak. Bahkan, karena memang sudah banyak tulisan dan kupasan tentang CA, mahasiswa Bahtra atau sastra sudah enggan menulis skripsi tentang CA.

Dalam perjalanan zaman, terus terang, banyak sisi pada diri CA mungkin tidak begitu hebat lagi, jika kita ukur dengan kehidupan sastra dan seniman pada hari ini.

CA disebut-sebut membuat gerakan revolusi terhadap bahasa Indonesia, tetapi benarkah bahasa Indonesia tumbuh dan mendewasa karena CA. Bukankah kita lebih sepakat bahwa Bapak Bahasa Indonesia Modern adalah STA.

Kehidupan CA eksentrik! Ah, dibandingkan anak-anak punk yang sering mangkal di simpang-simapng jalan dan simpang-simpang malam, CA sepertinya belum apa-apa.

Bukankah CA juga membuat terobosan baru bagi dunia perpuisian Indonesia. Terobosan apa? Apa karena CA banyak terpengaruh sastra Barat. Kita tidak boleh lupa, Muhammad Yamin, J.E. Tatengkeng dan dan Amir Hamzah juga terpengaruh soneta yang juga berasal dari Barat. Dan upaya melepaskan diri dari tradisi Pujangga Baru, Amir Hamzah telah lebih mendahului CA untuk melakukan eksperimen-eksperimen melepaskan diri dari hukum rima dan kata-katanya sangat ekspresif.

Apa lagi? CA yang memberontak terhadap sistem moral zamannya, tercermin dalam puisi-puisinya yang bahkan mengajak Tuhan berkelahi. Padahal, dibandingkan dengan puisi-puisinya F. Rahardi yang nggak ketulungan kotor dan joroknya, puisi-puisi CA masih tergolong sopan dan dalam beberapa sisi masih ada pancaran religius dan Islami.

Bukankah puisi-puisi CA itu abadi?

Berapa banyak sih puisi CA yang kita tahu. Selain”Aku”, “Kerawang-Bekasi”, “Hampa”, “Doa”, “Beta Pati Rajawane”, apalagi puisi CA yang kita kenal.

Oya, CA itu revolusioner dan nasionalis. Tapi, ingat, CA belum pernah dipenjara karena karyanya, seperti Hamka atau Rendra yang harus mendekam di penjara karena kegiatan berkeseniannya.

Nah, popularitas apa lagi yang membuat kita masih harus menggedang-gedangkan nama CA?

CA adalah produk zamannya, yang gaungnya telah melemah mengikuti perkembangan zaman itu sendiri. Orang-orang di belakang CA pun mengikuti hukum gerak waktu yang memang harus berkembang. Bahasa, sistem norma dan moralitas, ranah makna dan ranah ekspresi dalam dunia dan dunia sastra secara alami, harus kita akui, akan terus berkembang tanpa harus hadir seorang CA.

Jadi apa yang membuat kita harus bertahan menjadikan CA sebagai fokus referensi?

Pertama militansi. Militansi terhadap kesenian atau sastra. Pada zamannya dan hingga hari ini, CA merupakan sosok yang sangat militan terhadap kesenian dibandingkan sastrawan lainnya. Tak ada orang yang sepenuhnya menyerahkan hidupnya bagi kesenian pada waktu untuk kesenian. Bahkan untuk masa yang mengikutinya hingga hari ini, CA masih merupakan sosok utama yang memberikan darah, air mata dan nyawanya untuk kesenian. Secara sosiologi dan geneologi, CA berasal dari keluarga yang mapan dan memiliki keluarga yang terpandang di Jakarta, namun hal ini tidak membuatnya untuk mencoba hidup dengan semestinya.

Kegelisahan pada diri CA sebagai seorang seniman, bukan lagi hanya sekedar gejolak jiwa, tetapi lebih dari itu kegelisahan pada diri CA telah merupakan eksistensinya. Apa yang dilakukan CA dan hidupnya bagi dan dalam karya-karyanya bukan lagi merupakan eksperimen, tetapi merupakan puisi itu sendiri yang merupakan totalitas dirinya.

CA adalah puisi (an sich). Tak terjadi pada dirinya menggeluti sastra hanya sekedarnya, setengah-setengah, atau sekedar mampir. Untuk basis pendidikan, CA adalah seorang tamatan MULO, yang merupakan jenjang pendidikan cukup tinggi waktu itu, kutu buku, ditambah dengan penguasaan bahasa Inggris dan Belandanya yang baik, membuat dia mampu menjadikan dirinya sebagai seorang “sarjana sastra” melalui buku-buku asing yang dibacanya.

Kedua, ini juga yang membuat kita harus terus memajang potret CA dalam dunia sastra Indonesia, CA mati muda. CA mati dalam usia yang secara umum mungkin orang belum bisa berbuat apa-apa. Banyak sarjana, master dan doktor sastra yang sudah melewati usia matinya CA belum bahkan tidak mampu berkarya. CA mati dalam usia 27 tahun, usia di mana manusia-manusia masih mencari, usia di mana kita masih gelisah untuk merencanakan apa yang harus kita cari, sementara CA mati dengan bahagia dan tidak dalam penyesalan, karena ia telah berbuat banyak.

Dari beberapa motif untuk menyangkal keberadaan CA di atas tadi, dilakukan oleh beberapa orang, tetapi hal-hal yang disangkal itu dilakukan oleh CA sendiri. CA sendiri melakukan terobosan terhadap bahasa puisi, juga sendiri melakukan terobosan terhadap ranah makna, juga sendiri membuat terobosan terhadap sistem norma dalam karya sastra. Dia sendiri juga memiliki referensi Barat, sementara dia sendiri juga seorang revolusioner dan nasionalis.

Inilah mungkin makna filosofis mengapa yang kita kenang hari wafatnya CA, bukan hari lahirnya. Kehidupan CA mungkin tidak begitu menarik lagi dalam hingar-bingar hari ini, di mana dunia dan dunia sastra sudah penuh dengan carut-marut pemikiran, aliran dan orientasi. Matinya CA pun tidak membuat dunia sastra Indonesia merasa kehilangan, karena banyak sastrawan Indonesia yang masih hidup dan mungkin lebih hebat dari CA, tetapi matinya CA membuat kita harus terus teringat pada seorang anak muda yang telah memberikan semua hidupnya bagi sastra, kita teringat dengan seorang anak muda yang pemberang, jika melihat kesenian dipojokkan, jika melihat puisi diperlakukan sebagai permainan, dunia olok-olok.

Mengenang wafatnya CA, bagi saya pribadi adalah untuk mengenang mati dan semakin miskinnya perhargaan kita terhadap dunia sastra. Seperti CA yang mati muda, demikian juga sastra Indonesia yang tak pernah dewasa, kadang-kadang sekarat, karena kehilangan penghargaan terhadap dirinya.

 

Sedikit Tentang Pemakalah

EMONG SOEWANDI, lahir di Curup. Alumni FKIP-Universitas Bengkulu. Sekarang menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 1 Batu Bandung, Muara Kemumu, Kabupaten Kepahiang. 1988 mulai berkesenian dengan bergabung di Sanggar Swareka Bengkulu. 1996 mendirikan Sanggar Teater Bahtra di lingkungan Hima Bahtra FKIP-UNIB. Tahun 2006 mendirikan Teater Petak Rumbia yang berbasis di Taman Budaya Bengkulu.

Menulis dalam bentuk cerpen, puisi dan artikel serta naskah drama yang dipublikasikan oleh media cetak lokal dan nasional serta di media elektronik radio dan televisi. Salah satu puisi mendapat penghargaan dalam rangka Hari Lingkungan Hidup 1993 dan satu puisi juga pernah mendapat penghargaan dari Slank dalam rangka kampanye anti perang.

Beberapa tulisan telah dihimpun dalam Seri Khusus: Kumpulan Tulisan Firmansyah, yang diterbitkan oleh UPT Perpustakaan UNIB, tahun 1995.

Sementara beberapa puisi-puisi dengan puisi-puisi penyair Bengkulu lainnya dikumpulkan dalam antologi Riak I, (1992), Riak II, (1992), Riak III (1993), Monolog (1993) dan Besurek (1994); yang diterbitkan oleh Forum Sastra Bengkulu, Maharaja Disastra (2005) dan Sumatera Disastra, antologi penyair-penyair Sumatera (2006). Sedangkan antologi mandiri adalah Kabar Duka Citaku (1994) dan Fragmentasi Diam (2004).

Selain buku Seri Khusus: Kumpulan Tulisan Firmansyah, buku lain yang telah ditulis adalah Perjuangan Rakyat Rejang (2001), yang diterbitkan oleh Pemkab Rejang Lebong.

Menyutradarai beberapa pementasan teater. Saat ini tengah menggarap tradisi tutur sebagai persiapan Festival Tradisi Tutur Nusantara di Mataram, NTB, Juni 2007 dan Festival Tradisi Tutur Melayu di Padang, Sumbar, Juli 2007 mendatang.

Tinggalkan komentar